Kamis, 14 Mei 2009

Spot The Dictogloss Sebagai Alternatif Kegiatan Untuk Pembelajaran Listening Pada Sekolah Yang Tidak Memiliki Laboratorium Bahasa

Kegiatan menyimak adalah salah satu kegiatan penting dalam interaksi komunikasi. Akan tetapi, kegiatan ini tidaklah mudah mengingat adanya pembatasan kemampuan seseorang untuk mengetahui dengan pasti bagaimana proses pemahaman suatu informasi terbentuk. Hal ini juga terjadi dalam pembelajaran Listening di sekolah. Bahkan, pembelajaran Listening tidak mendapatkan porsi yang cukup, secara kualitas maupun kuantitas. Untuk mengatasi hal ini, muncul gagasan penggunaan laboratorium bahasa. Namun demikian, tidak semua sekolah termasuk SMP/SMA memiliki laboratorium bahasa. Salah satu upaya untuk mengisi keabsenan laboratorium bahasa, penulis menawarkan sebuah alternatif kegiatan yakni Spot The Dictogloss yang merupakan permainan gabungan dari Spot The Contradiction dan The Dictogloss. Permainan ini terdiri dari kegiatan pembuka, inti, dan penutup. Permainan ini diyakini dapat meningkatkan kemampuan keterampilan Listening siswa.

Dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, keterampilan menyimak yang selanjutnya disebut Listening, merupakan salah satu keterampilan wajib yang harus diajarkan di sekolah menengah pertama (SMP) maupun sekolah menengah atas (SMA). Dalam Standar Isi (2006), ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Inggris meliputi empat keterampilan berbahasa, yaitu Listening, Reading, Writing, dan Speaking. Pemberian mata pelajaran Bahasa Inggris di SMP bertujuan agar siswa mampu mengembangkan kompetensi berkomunikasi dalam bentuk lisan dan tulisan untuk mencapai tingkat literasi functional yaitu mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti membaca surat kabar dan petunjuk. Sedangkan untuk SMA diharapkan dapat mencapai tingkat informational yaitu mampu mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa. Untuk menguasai Speaking dan Writing, Listening hadir sebagai gerbang keterampilan-keterampilan produktif tersebut. Hal ini disebabkan Listening merupakan kegiatan pemerolehan informasi yang memiliki peranan penting dalam memahami bahasa asing. Oleh karena itu, guru harus mengajarkan Listening dengan baik agar siswa mampu mentransformasikan informasi dengan baik dan benar dalam bentuk lisan maupun tulisan

Namun disisi lain, pengajaran Listening mulai tidak dihiraukan keefektifannya jika dibandingkan dengan keterampilan yang lain yaitu Reading, Writing, dan Speaking. Lebih buruk lagi, banyak kasus yang menyebutkan bahwa pengajaran Listening sudah mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan guru lebih fokus pada pemantapan kemampuan yang lain seperti Reading dan Writing. Chastain (1976) menegaskan bahwa dua keterampilan ini dapat dilihat dan diinvestigasi sehingga guru mampu mengoreksi kesalahan siswa. Alasan yang kedua adalah proses memahami informasi yang tidak dapat dilihat dalam Listening (McKeating, 1981). Misalnya, siswa dapat dengan mudah mengatakan bahwa mereka mengerti atau dengan hanya menganggukkan kepala padahal mereka tidak benar-benar mengerti. Hal ini berbeda dengan dua keterampilan lainya seperti Speaking dan Writing yang bukti keberhasilanya dapat dilihat secara nyata. Alasan ketiga Listening mulai diabaikan adalah munculnya anggapan bahwa siswa belajar Listening dapat dilakukan secara sederhana melalui Speaking (McKeating, 1981). Karena ketiga alasan tersebut, guru cenderung mengabaikan pengajaran Listening.

Hal di atas diperburuk dengan metode pengajaran yang tidak sesuai (McKeating, 1981). Selama ini sebagian besar guru hanya menguji keterampilan Listening bukan mengajarkanya. Guru memberikan beberapa pertanyaan lalu memperdengarkan materi. Setelah itu, guru tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai pemahaman informasi yang tepat. Inilah yang dimaksud dengan menguji siswa. Akan tetapi, itulah fakta yang terjadi. Oleh karena itu, muncul ide penggunaan laboratorium bahasa untuk mengaktifkan kembali kemampuan keterampilan menyimak siswa. Rivers (1970) dalam Brenes (http://revista.inie.ucr.ac.cr) menegaskan fungsi penting laboratorium bahasa sebagai berikut :

  • Siswa berkesempatan menyimak ucapan penutur asli secara jelas dan sesering mungkin.
  • Siswa dapat menyimak suara penutur asli baik perempuan ataupun pria dengan berbagai macam variasi.
  • Guru tidak perlu mempermasalahkan pengaturan kelas sehingga guru dapat berkonsentrasi pada masalah siswa secara individu.

Dari pemaparan fungsi laboratorium bahasa di atas, terlihat bahwa laboratorium bahasa memiliki peran penting dalam meningkatkan kemampuan keterampilan Listening siswa. Guru juga dapat membantu siswa dalam memahami informasi dalam materi yang diperdengarkan.

Kondisi Sekolah di Indonesia.

Pada kenyataanya tidak semua sekolah di Indonesia memiliki laboratorium bahasa. Begitu juga sekolah menengah pertama terutama di daerah pedalaman atau lokasi terpencil yang tersebar di Indonesia, misalnya sekolah di pedalaman kecamatan Nisam dan Paya Bakong, Aceh. Diketahui bahwa pelaksanaan UAN di sekolah ini terutama pada ujian Listening hanya menggunakan satu toa atau pengeras suara (http://komunikasiunimal.multiply.com). Masih banyak sekolah di kota kecil yang juga belum dilengkapi dengan laboratorium bahasa seperti sejumlah SMP/SMA di Mojokerto, Bojonegoro, dan kota kecil lain di Indonesia.

Dalam pengajaran Listening, ketidaktersediaan laboratorium bahasa di sekolah menjadi kendala tersendiri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Siswa tidak mempunyai kesempatan untuk menyimak percakapan dari penutur asli sesering mungkin. Hal ini mengakibatkan siswa sulit untuk berlatih pengucapan (pronunciation), intonasi ataupun struktur kalimat (grammar) yang tepat dalam Bahasa Inggris langsung dari penutur asli. Ketidaktersediaan laboratorium bahasa dapat menghambat proses transformasi mengingat sinyal suara dapat membantu siswa mentransfomasikan informasi dalam bentuk tulisan ataupun lisan. Lebih buruk lagi, pengajaran Listening akan semakin ditinggalkan karena tidak adanya media atau fasilitas yang mendukung.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memiliki gagasan dalam memecahkan masalah ketidaktersediaan laboratorium bahasa yakni dengan penggunaan permainan Spot the Dictogloss. Permainan ini merupakan sebuah permainan yang memadukan dua konsep permainan yang telah diajukan oleh para ahli. Permainan yang pertama memiliki nama Spot the Contradiction. Dalam permainan pertama teks tersebut dengan adanya bagian yang diubah (McKeating, 1981). Permainan kedua adalah The Dictogloss. Dalam permainan kedua ini, guru mendikte teks kemudian siswa menulis kata atau kalimat sebanyak-banyaknya (Nunan, 1991). Jadi, Spot the Dictogloss adalah sebuah permainan gabungan yaitu guru membagikan sebuah teks yang pada bagian tertentu dalam teks (kata, frasa, klausa, atau kalimat) diberi tanda oleh guru. Misalnya, sebagian kalimat atau kata dalam teks digarisbawahi oleh guru, kemudian siswa bertugas mencari kata lain dari bagian yang digarisbawahi tersebut secara berkelompok. Salah satu perwakilan dari kelompok mendiktekan hasil teks yang telah diperbaharui, sedangkan siswa yang lain menyimak dengan saksama dan mencatat bagian yang diganti tersebut.

Permainan ini digunakan untuk siswa SMP/SMA dalam meningkatkan keterampilan Listening di sekolah, khususnya sekolah yang tidak memiliki laboratorium bahasa. Pada saat ini, siswa masih memiliki ketertarikan yang kuat terhadap sebuah permainan. Siswa bukanlah lagi anak-anak namun juga belum dapat dikatakan dewasa. Mereka masih memiliki kecenderungan untuk bermain namun tidak lagi dalam bentuk permainan yang membutuhkan kegiatan fisik yang berlebihan melainkan sebuah permainan yang menuntut kerja sama, mengandung unsur kompetisi, dan menantang. Permainan Spot The Dictogloss merupakan sebuah permainan yang memiliki semua elemen yang dibutuhkan oleh siswa SMP/SMA. Oleh karena itu, Spot The Dictogloss sangat cocok untuk diterapkan kepada siswa SMP/SMA. Permainan ini dapat diterapkan pada semua bentuk teks misalnya teks recount, descriptive, procedure, narrative, spoof, dan hortatory exposition. Namun, pada makalah ini penulis hanya memberikan contoh teks recount untuk diterapkan pada permainan Spot the Dictogloss. Misalnya pada kompetensi dasar, siswa SMP yang diharapkan memiliki kemampuan “Merespon makna yang terdapat dalam monolog pendek sederhana secara akurat, lancar, dan berterima untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar dalam teks berbentuk descriptive dan recount.” (Standar Isi, 2006)

Makalah ini bermanfaat baik bagi siswa maupun guru. Bagi siswa, permainan ini dapat memberikan motivasi untuk berlatih Listening dalam bentuk monolog, dialog, maupun teks lisan berbahasa Inggris. Sedangkan bagi guru pengajar Bahasa Inggris, penulisan makalah ini dapat memperkaya metode pengajaran sehingga kemampuan Listening siswa meningkat tanpa bantuan laboratorium bahasa sekalipun.

Proses memahami suatu informasi dapat diperoleh melalui perangkat audio maupun visual. Orang memanfaatkan bantuan visual seperti indra penglihatan untuk memperoleh informasi dalam bentuk tulisan melalui kemampuan membaca. Sedangkan bantuan audio seperti indra pendengaran dapat dipergunakan untuk menyaring informasi melalui kegiatan menyimak. Sebagai bukti bahwa orang telah memahami pesan atau informasi adalah melalui kemampuan berbicara atau menulis. Sehingga, kemampuan yang dimiliki seseorang untuk berbicara dan menulis disebut kemampuan produktif. Sedangkan, menyimak dan membaca disebut kemampuan penerimaan (Widowson, 1990). Hal ini menegaskan bahwa membaca dan menyimak bertindak sebagai input penguasaan bahasa.

Dengan demikian, hal terpenting dalam komunikasi langsung adalah proses transformasi informasi dalam bentuk percakapan. Di samping itu, di dalam hidup, kegiatan menyimak lebih banyak digunakan dibandingkan dengan kegiatan yang lain (Murcia dan Olshtain, 2000). Terlihat bahwa menyimak menjadi bagian penting dalam suatu interaksi komunikasi. Bahkan Nunan dan Miller (1995) menandaskan bahwa menyimak bukan hanya berguna sebagai input akan tetapi juga sebagai pengembang kemampuan berbicara.

Menyimak adalah suatu operasi rumit yang menggabungkan persepsi dengan pengetahuan kebahasaan (Rivers dan Temperley, 1978). Di samping itu, dibutuhkan usaha lebih untuk menyaring, berkonsentrasi, memahami, mengingat dan akhirnya mentransformasikan kembali informasi. Ini berarti menyimak tidaklah mudah seperti yang terlihat pada umumnya. Begitu pula yang terjadi dalam pengajaran Listening di sekolah.

Dalam kacamata pendidikan, aspek apa sajakah yang menyebakan kesulitan dalam Listening khususnya bagi siswa? Underwood (1993) menyatakan bahwa paling tidak terdapat lima hal yang berhubungan dengan kesulitan ini. Hal pertama kesulitan dalam Listening adalah siswa tidak dapat mengontrol kecepatan bicara seorang penutur. Terlebih jika siswa harus berbicara dengan penutur asli, siswa sulit untuk memintanya berbicara lebih pelan. Hal ini akan terlihat berbeda jika dibandingkan dengan kegiatan Reading yakni siswa dapat membaca kembali informasi yang tertulis dalam sebuah wacana. Hal yang kedua adalah siswa tidak dapat mengulang begitu saja sebuah informasi lisan misalnya berita yang ditayangkan di televisi atau radio. Sedangkan, dalam Reading siswa dapat mengulangi membaca sesering-seringnya. Hal yang ketiga adalah keterbatasan Vocabulary (kata-kata dalam bahasa Inggris) siswa. Hal ini dapat menyebabkan siswa tertinggal untuk mendengarkan informasi selanjutnya karena terlalu fokus pada arti kata berbahasa Inggris yang baru tersebut. Aspek lain yang menyebabkan kesulitan dalam Listening adalah konsentrasi yang mudah terganggu. Keributan di dalam ataupun di luar kelas dapat mengganggu konsentrasi. Selain itu, topik yang tidak menarik dapat membuat siswa bosan dan cenderung untuk tidak menyimak materi dalam Listening. Hal terakhir adalah kebiasaan belajar Listening siswa yang terlalu dikondisikan. Maksudnya, siswa terbiasa menyimak materi Listening yaitu pada saat guru membacakanya dengan pelan, mengulangi dan mengucapkan suatu kata dengan hati-hati. Pembiasaan seperti ini membuat siswa tidak siap ketika harus berhadapan langsung dengan penutur asli atau ketika menyimak materi otentik. Dengan demikian, siswa tidak memiliki persiapan yang cukup untuk menghadapi UAN khususnya materi Listening yang menggunakan materi otentik yaitu materi yang disampaikan oleh penutur asli.

Permasalahan yang muncul dalam pengajaran Listening tersebut dapat diatasi dengan pengaktifan laboratorium bahasa. Akan tetapi, faktanya tidak semua sekolah dilengkapi dengan laboratorium bahasa. Bahkan masih banyak sekolah di pedalaman yang belum tersedia listrik. Ini berarti laboratorium bahasa bukan solusi utama untuk mengatasi kesulitan Listening siswa. Sekolah - sekolah tersebut tidak dapat menyelenggarakan Listening ditempat khusus mengingat situasi yang kondusif dapat menunjang proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, guru cenderung mengabaikan pelajaran Listening. Listening diajarkan hanya sesekali saja sebagai pengisi waktu senggang ketika seluruh materi telah diberikan. Pelaksanannya pun tidak sesuai dengan kaidah pengajaran Listening. Hasilnya, kemampuan Listening siswa sulit meningkat secara signifikan.

Bagaimanakah Hakikat Mengajar Listening?

Dengan kondisi tersebut, seorang guru harus menemukan kegiatan yang kreatif sebagai pengganti laboratorium bahasa untuk mengajarkan Listening. Kegiatan tersebut seharusnya tidak seperti cara konvensional yang dilakukan sebagian besar guru. Maksudnya, guru tidak hanya mendikte dan menyuruh siswa menjawab sederetan pertanyaan. Terdapat beberapa aspek yang dapat dipertimbangkan dalam pengajaran Listening. Aspek- aspek tersebut meliputi penggunaan bahasa Inggris oleh guru, pengkondisian kelas, pengelompokan, dan penggunaan permainan.

Nunan (1991) menjelaskan bahwa perkataan berbahasa Inggris guru dalam kelas sangat penting untuk pengaturan kelas dan juga untuk proses pemahaman kebahasaan. Instruksi dan penjelasan guru misalnya, mampu menciptakan sebuah atmosfir baru yang mengaplikasikan bahasa Inggris secara nyata. Selain itu, hal ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar Listening secara natural. Dengan demikian, komunikasi guru berbahasa Inggris dalam kelas ini merupakan sumber utama belajar Bahasa Inggris bagi siswa (Nunan, 1991).

Aspek penting kedua adalah pengkondisian kelas. Sudah seharusnya guru memberikan jaminan bahwa siswa dapat berkonsetrasi penuh saat Listening berlangsung tanpa ada gangguan dari dalam maupun luar kelas. Kebersihan, kerapian, termasuk pencahayaan dan sirkulasi udara kelas juga perlu diperhatikan (Brown, 2001).

Pengelolaan kelas yang baik dapat terwujud salah satunya dengan sistem pengelompokan siswa. Kegiatan pembelajaran dapat terbagi menjadi beberapa jenis yaitu kegiatan kelas, individu, kelompok, maupun kegiatan berpasangan. Pengelompokkan ini dapat membangun rasa kepercayaan diri, tanggung jawab, dan rasa saling memiliki bagi siswa (Harmer, 2002).

Melakukan kegiatan pembelajaran melalui permainan diyakini dapat membuat suasana lebih menyenangkan, mudah, dan santai. Lee dalam Ariyanti (2005) mengatakan bahwa permainan mampu memecah kebosanan sebagai hasil penerapan metode pengajaran yang monoton. Permainan mampu membuat siswa termotivasi dan tertantang. Permainan juga dapat memfasilitasi siswa untuk berlatih Listening, Speaking, Writing, maupun Reading.

Tyson dalam Ariyanti (2005) telah menyebutkan beberapa karateristik permainan. Yang pertama, sebuah permainan harus menyenangkan sebab permainan yang tidak menarik dapat membuat siswa jenuh. Selain itu, permainan seharusnya dapat membangun suasana kompetisi yang sehat. Permainan harus membuat seluruh siswa berpartisipasi dan tertarik. Sebuah permainan juga harus membuat siswa mampu berkonsentrasi pada penggunaan bahasa. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa sebuah permainan harus memberikan kesempatan siswa untuk belajar, berlatih, maupun mengulangi materi sebelumnya.

Makalah ini menawarkan sebuah alternatif untuk menghindari permasalahan yang terjadi karena ketidaktersediaan laboratorium. Spot the dictogloss adalah sebuah permainan gabungan baru yang dapat membantu tercapainya kesuksesan dalam pelajaran Listening. Pada dasarnya, istilah Spot the Dictogloss didapat dari dua kegiatan Listening yang berbeda. Permainan tersebut adalah Spot the Contradiction dan Dictogloss.

McKeating (1981) memperkenalkan permainan bernama Spot the Contradiction yaitu guru memberikan sebuah teks lalu membacanya di depan kelas. Guru membaca teks yang pada bagian tertentu terdapat perubahan. Contoh teks tersebut adalah sebagai berikut:

Yesterday, Mrs. Lindsay visited her men (friend). She drove a (blue) car with her mother. She was happy (disappointed) because her friend was not at home. Then, she went home. On the way home, she met Mrs. Hillary (Mrs. Britney). They decided to have lunch at the nearest restaurant (café). Later on, Mrs. Lindsay went home and found that her mother was left behind (stay) at her friend’s home. With laugh (tears), she drove back to her friends’ home.

Dalam membacakan keseluruhan teks, guru membaca kata-kata dalam tanda kurung. Siswa diharuskan untuk menyimak dengan saksama dan menulis kata-kata baru tersebut.

Sedangkan Dictogloss adalah sebuah permainan yakni guru mendiktekan sebuah teks kepada siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Nunan (1991), setelah guru mendiktekan sebuah teks, siswa diarahkan untuk menulis kata sebanyak yang mereka dengar. Sebelum mendikte, guru memperlihatkan sebuah gambar yang berhubungan dengan teks tersebut lalu meminta siswa untuk mendiskusikannya. Diskusi dapat membantu siswa untuk menambah perbendaharaan kata sehingga siswa siap untuk menyimak teks yang akan dibacakan.

Mengapa harus Spot the Dictogloss?

Telah banyak ditemui bahwa sekolah yang tidak memiliki laboratorium bahasa menggunakan tape recorder, radio, maupun televisi untuk mengajarkan Listening. namun, ternyata alternatif ini memiliki bebrapa kelemahan. Pertama, siswa tidak mungkin dapat menyuruh pembicara di televisi atau radio untuk mengulangi perkataan. Hal ini berbeda ketika guru atau perwakilan kelompok mendiktekan teks secara langsung yaitu mereka dapat mengulangi seandainya siswa tidak menangkap perkataan dengan baik. kedua, masalah teknis sering menggangu pengajaran Listening misanya ketika listrik padam. Dapat dipastikan bahwa penggunaan media seperti di atas tidak dapat digunakan dengan maksimal. Sedangkan, diktasi atau pendiktean dapat dilakukan kapan dan dimana saja meskipun sekolah tidak terhubung dengan listrik sekalipun.

Permainan Spot the dictogloss memiliki banyak manfaat dan tujuan tersirat. Permainan ini dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar melalui kegiatan koopetisi (kerjasama dan kompetisi). Siswa dapat terlatih untuk bekerja sama dalam satu kelompok. Hal ini dapat menjembatani rasa kebersamaan sehingga mereka akan merasa nyaman untuk melakukan kegiatan. Saat kegiatan inti dan penutup, siswa bekerja secara individu. Hal ini menumbuhkan rasa kepercayaan diri dan tanggung jawab.

Kompetisi di saat kegiatan penutup memberikan kesempatan kepada siswa untuk merealisasikan diri. Kompetisi ini mengajak siswa untuk membuktikan dan memperlihatkan kemampuan mereka. Selain itu, presentasi langsung seperti siswa membaca teks memiliki banyak manfaat. Menurut Underwood (1993), presentasi langsung menawarkan suatu bentuk komunikasi alami yang berguna bagi siswa dalam menambah pengalaman dan menyiapkan diri untuk menghadapi ujian. Karena pembicara dapat dilihat, siswa dapat dengan mudah mengetahui arti dengan adanya gerakan tubuh, ekspresi, mimik wajah, ataupun petunjuk non verbal yang lain. Terlihat bahwa permainan ini membantu mempertahankan keberadaan pengajaran Listening walaupun sekolah tidak memiliki laboratorium. bahasa. Dengan begitu, Listening akan tetap diajarkan dengan aplikasi yang baik dan sesuai.

Terdapat dua proses penting dalam Listening. Kedua proses tersebut adalah top down dan bottom up. Penggunaan pengetahuan dalam otak yang tidak selalu tertulis dalam teks disebut sistem top down (Nunan, 1991). Anderson dan Lynch (1993) mengatakan bahwa sistem top-down itu penting untuk memahami sebuah bahasa. Sedangkan sistem Bottom-up menggunakan pengetahuan awal mengenai sistem bahasa seperti tata bahasa (grammar), perbendaharaan kata (Vocabulary), dan lain-lain (Murcia dan Olshtain, 2000).

Siswa mengolah arti melalui petunjuk kebahasaan. Namun bagaimanapun, permainan Spot the dictogloss mempergunakan proses bottom up dan top down secara bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan. Seperti pada kegiatan pembuka, guru menunjukkan sebuah gambar tentang kehidupan laut. Hal ini membantu siswa untuk mengingat kembali pengetahuan mereka tentang kehidupan laut dan inilah yang dimaksud dengan proses top-down. Kegiatan ini menyiapkan siswa untuk menghadapi kegiatan inti. Kemudian, dengan mengubah beberapa bagian dalam teks, siswa dapat memahami petunjuk kebahasaan. Inilah satu bentuk proses menyimak dengan menggunakan sistem bottom-up. Dapat dilihat bahwa ketidaktersediaan laboratorium bahasa bukan merupakan suatu hambatan untuk melaksanakan tujuan dari Listening. Bahkan, permainan ini pantas untuk diterapkan dan efektif untuk diimplementasikan.

Underwood (1993) menyebutkan tiga kegiatan penting dalam melaksanakan pengajaran Listening. Kegiatan yang pertama adalah kegiatan pembuka yaitu ketika konteks dibahas bersama. Kemudian, kegiatan inti adalah kegiatan siswa menyimak teks yang diperdengarkan. Yang terakhir adalah kegiatan penutup yaitu guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memproduksi sesuatu berkenaan dengan materi pada kegiatan inti.

Spot The Dictogloss?

Senada dengan pernyataan Underwood, permainan Spot The Dictogloss menggunakan tiga langkah pembelajaran. Penjelasan lebih lengkap antara lain sebagai berikut.

  1. Kegiatan Pembuka

Untuk mempersiapkan siswa menghadapi proses penerimaan pesan melalui sinyal suara, guru mengajak siswa bernyanyi bersama. Sebelumnya, guru menuliskan lirik lagu “My Bonnie” yang berhubungan dengan kehidupan laut di papan tulis. Kemudian, guru menunjuk satu siswa untuk menyanyikan lagu, kemudian siswa tersebut menunjuk siswa lain untuk menyanyi. Setelah itu, guru menunjukkan sebuah gambar yang berkaitan dengan kehidupan laut, mengingat tema yang dipilh dalam teks recount ini adalah kehidupan laut. Guru membuka sesi diskusi mengenai gambar. Siswa dapat menceritakan pengalaman pribadi yang berkaitan dengan kehidupan laut. Kegiatan ini berlangsung hanya sepuluh menit.

  1. Kegiatan Inti.

Guru menyuruh siswa untuk membentuk lima kelompok besar. Setelah siswa bergabung dengan kelompoknya, guru membagikan sebuah teks recount yang sama kepada masing-masing siswa. Akan tetapi, teks tiap kelompok memiliki bagian berbeda yang digarisbawahi guru. Contoh dapat dilihat di bawah ini.

Diambil dari “Sentence Structure: A Communicative Course using story squares” oleh Thomas Sheehan (1997) dengan beberapa perubahan.

Kemudian guru membacakan teks tersebut dua atau tiga kali dengan intonasi dan pronunciation yang tepat. Sedangkan, siswa menyimak dengan baik teks yang dibacakan sambil membaca teks tersebut. Kemudian tiap kelompok berdiskusi untuk mengubah bagian teks yang digarisbawahi oleh guru. Setelah waktu untuk berdiskusi habis, siswa kembali ke bangku mereka sebelum bergabung dalam kelompok. Kemudian, tiap perwakilan kelompok mendiktekan hasil teks yang telah direvisi di depan kelas dua sampai tiga kali. Sedangkan siswa yang lain menyimak dengan saksama dan mencatat bagian yang telah direvisi. Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan inti ini adalah 50 menit.

  1. Kegiatan Penutup

Guru kemudian membuka diskusi kelas untuk mencocokkan hasil. Siswa harus menukar lembar jawaban dengan siswa lain untuk diperiksa dan diberi nilai. Siswa yang mendapatkan nilai tertinggi mendapatkan hadiah dari guru. Disamping itu, guru juga menanyakan kesulitan-kesulitan siswa pada saat diktasi berlangsung. Ur (1993) menyatakan bahwa respon aktif seperti ini lebih bermanfaat daripada menyimak secara pasif. Kemudian siswa kembali ke kelompok mereka untuk mengumpulkan nilai individu menjadi nilai kelompok. Buck (2001) menjelaskan bahwa skor atau nilai adalah sesuatu yang memberikan arti penting bagi kegiatan yang telah dilakukan. Kemudian kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi mendapatkan hadiah dari guru. Sedangkan, kelompok yang mendapatkan nilai terendah harus menyanyikan lagu “My Bonnie” di depan kelas. Sebagai kegiatan produksi, siswa diharuskan menulis karangan ataupun pengalaman pribadi secara singkat dengan tema kehidupan laut menggunakan bentuk teks recount. Setelah itu, siswa menempel tulisan mereka di dinding kelas agar siswa lain dapat memberikan komentar. Kegiatan penutup ini membutuhkan waktu 30 menit.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengajaran Listening tidak dapat dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang dan tepat. Sebab saat ini Listening tidak hanya semakin penting sebagai keterampilan penerimaan (receptive skills) akan tetapi juga berguna bagi peningkatan kompetensi oral (Nunan and Miller, 1995). Kemudian, muncul ide penggunaan laboratorium bahasa untuk meningkatkan kemampuan Listening siswa. Namun, pada kenyataanya tidak semua sekolah SMP/SMA di Indonesia dilengkapi dengan laboratorium bahasa dan bukan berarti pengajaran Listening harus diabaikan. Dengan kondisi ini, banyak kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengganti fungsi laboratorium bahasa sehingga Listening masih dapat diajarkan dengan baik. Salah satunya adalah dengan menerapkan permainan Spot The Dictogloss. Terdapat beberapa langkah pembelajaran dalam melaksanakan permainan ini. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi kegiatan pembuka, inti, dan penutup. Kegiatan ini merupakan realisasi penggabungan dua kegiatan terdahulu yaitu Spot The Contradiction yang diajukan McKeating dan The Dictogloss yang ditawarkan oleh Nunan. Mengingat banyaknya manfaat dan juga aspek kesederhanaan dari permainan ini, penulis yakin bahwa permainan ini dapat membantu meningkatkan kemampuan Listening siswa baik SMP maupun SMA.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, penulis menyarankan bahwa materi atau jenis teks yang diberikan kepada siswa adalah dalam bentuk teks lisan bukan teks untuk Reading. McKeating (1981) menegaskan bahwa teks untuk Reading lebih sulit ketika harus diperdengarkan. Memang, guru mungkin saja mengambil teks Reading untuk materi Listening, namun teks tersebut harus diubah sedemikian rupa sehingga menjadi teks lisan. Hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah bahwa ketika membaca teks, guru harus memperhatikan intonasi dan Pronunciation yang tepat. Hal ini berpengaruh pada perwakilan siswa yang mendiktekan teks baru. Dalam hal ini, guru bertindak sebagai model sehingga guru harus memberikan contoh yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Anne and Tony Lynch. 1993. Listening. Hong Kong. Oxford University press.

Ariyanti, Noviana.2005.Developing A Model of Listening Comprehension Materials for Elementary Students. Surabaya:UNESA.

Buck, gary. 2001. Assessing listening. UK. Cambridge University press.

Brown, Douglas H. 2001. Teaching by principles: an interactive approach to language pedagogy; second edition. New York. Longman.

Chastain, Kenneth. 1976. Developing second language skills: theory to practice.USA. McNally College Publishing.

Harmer, Jeremy. 2002. The practice of English language teaching: third edition. England. Longman

McKeating, Douglas.1981. Comprehension and listening in Abbot, Gerry et al. The teaching of English as an international language. Great Britain: William Collins sons and Co. Ltd

Murcia, celce Marianne and Elite Olshtain. 2000. Discourse and context in language teaching: a guide for language teacher. UK. Cambridge university press.

Nunan, David. 1991. Language teaching methodology. UK. Prentice Hall

Nunan, David and Lindsay miller. 1995. New ways in teaching listening. USA. Pantagraph

Rivers, M. Wilga and Mary S. Temperly.1978. A practical guide to the teaching of English as a second or foreign language. New York. Oxford University Press.

Sambo, Masriadi. 2007. Sepeda, Motor dan Pesawat; BENARKAH PENDIDIKAN KITA SUDAH MERDEKA?.http:// komunikasiunimal.multiply.com/journal/item/37/ (14 Maret 2009)

Sheehan, Thomas. 1997. Sentence structure: a communicative course using story squares. USA. Prentice Hall.

Standard isi: Standard kompetensi lulusan. 2006

Underwood, Mary.1993. Teaching listening. New York. Longman

Ur, Penny. 1993. Teaching Listening comprehension. Great Britain. Cambridge university press.

Widowson, H.C. teaching language as Communication. 1990. New York. Oxford University press.

Brenes, César A. Navas.2006. The Language Laboratory and The EFL Course.http://revista.inie.ucr.ac.cr/articulos/2-2006/archivos/language.pdf (14 Maret 2009).

4 komentar:

  1. kasih tahu dund referensi atau buku tentang Spot the dictogloss yang lebih spesific ya ???? makasih . . .

    BalasHapus
  2. penelitian saya tentang dictogloss. tolong kasih download buku-bukunya dong. pleace

    BalasHapus
  3. NEED A HELP ABOUT MORE REFERENCE SPOT THE DICTOGLOSS METHOD, PLEASE!!!!!!!!

    BalasHapus
  4. M. DAFTAR PUSTAKA
    Tarigan, Djago. 1998. Ketrampilan Menyimak. Bandung : Angkasa
    Tarigan, Henry Guntur. 1997. Menyimak sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
    Bandung
    Dasna, I Wayan, 2008. Penelitian TIndakan Kelas (PTK). Panitia Sertifikasi Guru,
    Universitas Negeri Malang.
    Lim, W.L. and Jacobs, G. M. (2001). An analysis of students’ dyadic interaction on a
    dictogloss task. ERIC Document Reproduction Service No. ED 456 649.
    Storch, N. (1998). A classroom-based study: Insights from a collaborative reconstruction
    task. ELT Journal, 52 (4):
    George Jacobs, 2003. Combining Dictogloss and Cooperative Learning to Promote
    language learning, The Reading Matrix. Vol.3. No.1, April 2003

    BalasHapus